Crawe Friezo
Cerpen Karangan:
Salma HayaKategori:
Cerpen Persahabatan,
Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 19 September 2017
Hujan deras sepnjang malam. Ketika pagi, sisa-sisa hujan masih jatuh
di rerumputan dan menembus tanah. Kelopak daun berayun-ayun kecil,
menahan pecahan titik hujan. Udara pagi itu begitu dingin menusuk
tulang. Kutarik selimut hingga menutupi badan. Terdengar sebuah teriakan
yang terus memanggil namaku. Teriakan itu sangat akrab di telingaku.
Ibuku. Ia terus membangunkanku. Ibuku mengatakan bahwa hari ini adalah
hari pertamaku masuk SMA. Aku tahu akan hal itu, tetapi tubuhku sangat
berat untuk meninggalkan ranjang. Aku pun terpaksa bangun dari mimpi
indahku. Kubasuh wajah lesu ini, kemudian aku pun bersiap-siap untuk
berangkat ke sekolah. Setelah selesai, aku mulai meninggalkan rumahku.
Kutelusuri lorong sekolah dengan kakiku. Kutengok kanan kiri,
berharap menemukan kelasku. Setelah sekian menit mencari, akhirnya aku
menemukan kelasku. Aku pun mulai memasukinya, lalu aku duduk di salah
satu kursi yang berada di pojok. Kelas masih sangat sepi. Aku pun
menyibukkan diri dengan membaca novel yang kubawa. Tak lama kemudian,
terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahku. Pemilik langkah
kaki itu langsung duduk di sampingku. Dia tidak bertanya terlebih dahulu
kepadaku dan hal itu membuatku merasa kesal. Dia tipe orang yang cuek.
Walaupun kelas mulai ramai, dia tidak terusik sedikitpun. Dia masih
bertahan pada earphonenya yang terpasang di telinganya. Posisinya tetap
sama, yaitu dengan matanya yang tertutup rapat, kepalanya yang
disenderkan di kursi, dan tangannya diletakkan di dada yang saling
mengaitkan satu sama lain. Dia juga tidak bergerak, meskipun ada yang
menepuknya. “Sungguh orang yang cuek,” gumamku.
Setelah bel berbunyi. Bu Ira pun memasuki kelas dan mengatakan bahwa
kegiatan hari ini hanyalah perkenalan dan mencatat jadwal. Ini
kesempatanku untuk dekat dengan cewek cuek itu. Entah mengapa aku sangat
penasaran dengannya.
“Hai, namaku Sally,” kataku memulai pembicaraan. Yuanita Sallyana, itulah namaku.
“Aku sudah tau namamu,” kata Renza singkat. Farenza Fera Fidonia, itulah namanya. Aku mengetahuinya lewat perkenalan tadi.
“Okelah, mari kita bersahabat,” ajakku.
“Kita belum kenal lama loh,” kata Renza.
“Ya tidak apa-apa, maka dari itu dengan bersahabat kita jadi saling kenal,” kataku.
“Kenapa harus aku?” Tanya Renza.
“Aku ingin punya sahabat yang cuek kayak kamu,” kataku jujur.
“Terserah kamu sajalah,” kata Renza yang sedikit kesal.
“Yes, akhirnya punya sahabat baru juga,” kataku dalam hati.
Setelah itu aku mengenalkan Renza kepada sahabat-sahabatku waktu SMP
dulu. Mereka adalah Alya, Tasya dan Elin. Setelah berkenalan mereka
mengobrol bersama. Renza sepertinya tipe orang yang mudah bergaul. Dia
juga orang yang humoris. Buktinya Renza bisa langsung akrab dengan
sahabat-sahabatku dan membuat kami tertawa karena melihat aksi
konyolnya.
Sejak hari itu persahabatan kami dimulai. Renza menyarankan untuk
membuat tim atau semacam genk yang bernama Crawe Friezo (Create Awesome
Friendzone) yang artinya ciptakan pertemanan yang luar biasa. Kami pun
sepakat untuk menggunakan nama itu. Hari sudah berganti hari, minggu
sudah berganti minggu dan besok adalah hari yang special buat kami, Ya
sangat special. Anniversary Crawe Friezo yang pertama.
“Huaaaa, gue seneng banget sumpah, gak terasa udah satu bulan aja persahabatan kita,” kata Alya dengan lebay.
“Lebay banget luh, kek gak pernah anniv aja” kataku spontan.
“Yaelah kek gak tau gue aja sel,” jawab alya mendengus kesal.
“Gimana kalo kita ke puncak? Pasti asik banget tuh liat matahari muncul,” usul Renza
“Ogah ah, serem ih, nanti kalu jatuh gimana?” kata Tasya.
“Kalau takut bilang aja kale kagak usah banyak alesan,” ucap Elin yang berhail membuat Tasya kebakar
“Woy gue gak takut kali, okelah gue ikut” sangkal Tasya
“Ok semua sudah setuju, gimana kalau nanti malem kumpul di rumah gue jam 7, kita berangkat ke puncak jam 9?” kata Renza.
“Siap” ucap kita serempak.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, kami pun sudah berkumpul di
rumah Renza dan mempersiapkan semuanya. Tepat pukul 9 kami berangkat ke
puncak yang ada di Bogor. Butuh waktu 1 jam untuk sampai di lokasi.
Setelah sampai kita pun mendaki agar sampai di puncak. Udara dingin
menemani perjalanan kami. Kegelapan malam membuat pandangan kami tampak
kabur mengahlangi untu sampai ke punak. Kami dengan sigap mendirikan
tenda dan membuat api unggun untuk mengusir kedinginan yang ada. Kami
dibuat sakit perut karena terlalu sering menahan tawa melihat aksi
konyol Renza. Bukan Renza namnya kalau gak bisa bikin kami ketawa sampai
gak bisa ketawa lagi karena merasa kaku di bagian perut. Mulai dari
menakuti si Tasya dengan selimut yang bewarna putih dan itu berhasil
membuat si Tasya Nangis. Dan aku pun menjadi korban si Renza.
“Woy ada yamg liat sepatu gue gak?” Tanyaku kebingungan
“Gue gak liat sel” jawab Alya
“Ada noh nangkring di pohon ntu” Ucap Elin sambil menunjuk ke arah pohon yang dekat dengan tenda
“Sialan! Siapa yang naruh ntu sepatu gue?” Tanya gue kesel
“Siapa lagi kalo bukan si biang rusuh Renza” Jawab Tasya
Anehnya setiap kali si Renza bikin rusuh ia tampak tidak merasa
bersalah. Dia terus berpura-pura sedang menikamti api unggun dengan
siulan yang menyakitkan itu. Aku pun menghampiri Renza dan mendengus
kesal kepadanya. Entah kenapa Renza selalu kalah denganku, ia pun
mengembalikan sepatuku dengan utuh. Renza yang gue kira orang yang super
cuek ternyata ia adalah orang yang super ramah plus ngeselin.. Walau
kegelpan menyelimutiku tapi tawa sahabatku menjadi cahaya yang
mengalahkan malam. Aku sangat bersyukur bisa melihat matahari terbit
dari puncak bukit ini, sungguh indah sekali. Tak lupa kami mengabadikan
moment special ini dan moment ini adalah moment terbaik dalam hidupku.
Aku berdecak kagum melihat keindahan alam yang terpancar nyata di
bawah sana. Setelah puas menikmati keindahan alam yang ada kami pun
pulang. Pada saat perjalanan menuruni puncak itu Renza Tiba tiba
pingsan. Aku pun tak menyangka cewek sekuat dan sejahil Renza bisa
pingsan dalam keadaan yang seperti ini. Sontak kami semua panik dan
berusaha menggotong tubuh Renza yang berat ini ke mobil. Setelah itu
kami pun mengantarkan Renza ke rumahnya. Dan kami pun mengetahui jika
Renza kelelahan dia akan pingsan. Sejak saat itu kami membatasi
aktivitas agar Renza tidak terlalu kelelahan. Tapi kesepakatan itu tidak
di setujui Renza, dia ingin seperti dulu yang sepanjang waktu dilewati
bersama. Hal ini menimbulkan perdebatan diantara kami dan lebih parahnya
si Renza memutuskan keluar dari grup.
“Lo apa apaan sih za, kita nglakuin ini semua kan demi kesahatan lo, kita gak mau lo sakit za,” ucapku menjelaskan.
“Tapi gue gak mau kali hidup gue diatur atur, gue risih dengan semua
ini, yang gue inginkan itu kebebasan kali, coba deh lo ada di posisi
gue, emang lo mau diatur atur kayak gini? Gue rasa lo juga pengen
bebas,” Jawab Renza kesal.
“Kita kayak gini biar lo gak kenapa kenapa za, kita ini ingin lo sehat terus, obalah ngertiin kita” Timpal Alya.
“Gue ngertiin kalian? Gak kebalik tuh? Udahlah gue capek kek gini terus,
mending gue keluar dari grup ini, gue juga pengen bebas!” Kata Renza.
“Gampang banget lo bilang keluar hanya karena masalah sepele kek gini?
Ternyata sosok Renza yang gue kenal itu baik ternyata egois juga,” ucap
Tasya dengan nada sinis
“Kita kek gini juga untuk kebaikan lo juga kali,” tambah Elin.
“Bodo lah, yang psti gue udah muak!!” bentak Renza sembari melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kami.
Sejak hari itu persahabatan kami berantakan. Renza yang duduk di
sebelahku sudah enggan untuk berbicara padaku. Aku sangat bersalah
padanya. Seharusnya aku tidak memaksa kehendaknya. Rasa itu semakin
besar saat si Renza tidak masuk sekolah selama 3 hari. Aku pernah
berpikir bahwa Renza tidak masuk karena aku, tapi aku berusaha membuang
pikiran itu dan kuputuskan untuk menjenguknya.
“Ren… Renza,” ucapku.
Pintu yang ada di depanku itu terbuka dan muncullah si pemilik rumah itu.
“Ren, pliss maafin gue, gue gak bemaksud apa apa gue Cuma gak ingin lo kenapa kenapa udah itu aja,” Kataku tanpa henti.
Jawaban Renza membuat lidahku tercekat.
“Maaf, Anda siapa? Apakah ada masalah dengan saya?” Kata Renza.
“Ren, gue tau gue salah, tapi segitu bencinya kah lo ama gue? Sampai
sampai lo pura pura gak kenal gue?” Tanyaku degan nada tak percaya.
“Maaf tapi saya benar benar tidak kenal Anda, mungkin Anda salah orang”
Jawab Renza yang semakin mebuatku seperti patung. Ia pun menutup
pintunya tanpa menghiraukan aku yang berdiri kaku seperti patung.
Aku tetap berdiri di pintu berwarna hijau itu. Tak ada aktivitas yang
aku lakukan selain berpikir. Aku terus bertanya pada diriku apakah aku
salah alamat ataukah Renza mempunyai kembaran. Tidak ini semua benar,
alamat rumahnya benar jalan mangga nomor 34 dan senyuman itu milik
Renza. Ya senyuman yang lebar nan manis itu hanya milik Renza dan kata
ibunya Renza adalah anak tunggal. Hal ini semakin membuatku bersalah
padanya, apakah Renza sengaja membuatku dihantui perasaan bersalah, Hal
itu terus terpikirkan olehku hingga sekarang.
Setelah 1 minggu sejak hari itu Renza kembali masuk sekolah, seperti
biasa ia selalu menunjukkan senyum khasnya kepada semua orang termasuk
aku. Aku pun membenarkan pikiraku bahwa Renza hanya berpura pura saja
tidak mengenalku untuk membuatku sadar, tapi jawaban Renza membuatku
sangat kaget seperti orang yang mempunyai sakit jantung. Setelah aku
menanyakan hal itu Renza menjawab bahwa dia tidak pernah melihatku
berkunjung kerumahnya. Hal ini semakin membuatku penasaran.
Tiga hari berikutnya Renza kembali tidak masuk sekolah. Aku dan teman
temanku pun menjenguknya dan kami semua tersentak bahwa Renza sudah
pindah dari rumah itu. Tapi anehnya yang bilang bahwa renza pindah itu
adalah ibunya. Apakah dia ngekost? Tapi untuk apa? Entahlah. Aku pun
mengikuti Ibu Renza ke tempat Renza sekarang.
Aku pun mendapat surat dari Ibu Renza. Aku mulai membaca dan hanyut
ke dalamnya, bulir bulir air mata terus memaksa itu keluar, Namun
perutku sakit karena menahan tawa, Renza paling bisa buatku ketawa
lepas, “Ni orang udah putus kali ya sarafnya, bisa bisanya dia ngomong
absurd begono tanpa melihat keadaanya, setres emang tuh” Komenku setelah
membaca surat itu. Tapi walau surat itu bisa membuat kami ketawa sampai
sakit perut tapi air mata ini tidak bisa dibendung melihat namanya
terukir di sebuah batu. Farenza Fera Fidonia.
Hai sel, and semua sahabatku. Maaf waktu itu gue keterlalulan banget
sama kalian. Gue nglakuin itu karena gue gak pengen lihat kalian terlalu
sedih karena gue akan pergi. Iya gue akan pergi, karena tiba tiba gue
dapet surat mutasi buat pindah rumah. Makanya gue buat kalian benci ama
gue biar kalian gak terlarut dalam kesedihan. Oh ya maaf banget buat
sally karena waktu itu gue lupa kalo lo datang. Tau nih otak gue udah
konslet karena nggesrek mulu, pasti lo udah diceritain ama mak gue
tentang penyakit otak gue yang konslet itu, Alzheimer maksud gue, gak
usah sok gak tau deh. Maaf ya gak pernah cerita viss. Oh ya gue di sini
nyaman banget kok, kek kata elu yang bijak itu selalu ada cahaya disaat
gelap. Nah kalo gue dah pergi hari hari kalin gak usah nangisin gue
mulu, emang gue bawang apa klo deket gue lo pada pada nangis. Oh ya hari
hari lo pada kudu cerah dan manis semanis senyuman gue, eeeaaak. Ntu
Crawe Friezo jangan pada bubar yak, awas lo kalo buabar gue tabok
kalian. Udah ah gue mau bobo cantik dulu di sini, salam gue dari planet
laen. Renza. Inget jangan pada nangis gue bisa liat kalian dari sini.
Cerpen Karangan: Salma Haya
Facebook: Salma Binuril Haya
Cerpen Crawe Friezo merupakan cerita pendek karangan
Salma Haya, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
sumber:http://cerpenmu.com/cerpen-sedih/crawe-friezo.html